
Industri Serat dan Benang Filamen Diduga Terlibat Mafia Kuota Impor Tekstil
Dugaan Adanya Mafia Kuota Impor Tekstil di Indonesia
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyatakan dugaan adanya aktivitas mafia kuota impor tekstil yang terjadi pada tahun ini. Hal ini terlihat dari ketidakcocokan antara perhitungan kondisi industri dalam negeri oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan arah kebijakan Kementerian Perdagangan.
Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, mengungkapkan bahwa dugaan tersebut muncul setelah Kementerian Perdagangan menolak usulan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk benang filamen. Komite Anti Dumping Indonesia sebelumnya merekomendasikan tarif BMAD sebesar 5,12% hingga 42,3% untuk dua jenis filamen, yaitu partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY) asal Tiongkok.
Menurut Aqil, penolakan ini menunjukkan adanya kemungkinan keberadaan mafia kuota impor. Ia menegaskan bahwa tindakan pemerintah ini dapat merugikan industri tekstil nasional.
Penurunan Neraca Perdagangan Industri TPT
Aqil juga mencatat penurunan signifikan dalam neraca perdagangan industri tekstil poliester (TPT). Sejak 2016, neraca perdagangan TPT turun dari US$ 3,6 miliar menjadi US$ 2,4 miliar pada tahun lalu. Di sisi volume, neraca perdagangan TPT sudah berada di zona merah sejak 2017, dengan kisaran 57.000 ton hingga saat ini.
Menurut Aqil, defisit volume neraca perdagangan TPT semakin memburuk karena pertumbuhan impor TPT lebih tinggi dibandingkan ekspor. Hal ini menyebabkan kontribusi industri TPT terhadap perekonomian nasional hanya sebesar 0,99% pada tahun lalu.
Pertumbuhan Industri TPT yang Tidak Stabil
Meskipun demikian, Aqil mengakui bahwa industri TPT mengalami pertumbuhan sebesar 4,35% secara tahunan pada kuartal kedua tahun ini. Namun, ia menekankan bahwa pertumbuhan ini utamanya didorong oleh investasi baru.
Sayangnya, investasi yang ada saat ini cenderung stagnan akibat meningkatnya volume impor TPT, baik legal maupun ilegal. Menurut Aqil, hal ini membuat kondisi industri TPT nasional tampak baik-baik saja meskipun sebenarnya tidak stabil.
“BPS tidak menghitung importasi ilegal yang seharusnya menjadi pengurangan dalam perhitungan PDB. Selain itu, investasi yang berhenti tidak dihitung sebagai pengurang,” ujarnya.
Keputusan Menteri Perdagangan
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Budi Santoso memutuskan untuk tidak meneruskan rekomendasi pengenaan BMAD pada POY dan DTY pada Juni 2025. Ia menilai bahwa pengenaan tarif ini akan meningkatkan biaya produksi sektor hilir, terutama industri garmen nasional.
POY dan DTY merupakan hasil pemrosesan polyester yang digunakan sebagai bahan baku benang, sebelum akhirnya diolah menjadi kain dan produk garmen. Menurut Budi, industri hulu tekstil nasional belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan sektor hilir. Sebab, sebagian produsen tidak melepas produksi mereka ke pasar terbuka, melainkan digunakan secara internal.
“Pemerintah berkomitmen menjaga keseimbangan antara perlindungan industri dalam negeri dan kebutuhan akan bahan baku yang kompetitif bagi sektor hilir, demi menjaga kelangsungan dan daya saing industri nasional secara menyeluruh,” kata Budi dalam pernyataan resmi.